Kepada Siapa Hati kita Bergantung?

Penulis : Al Ustadz Ayub Abu Ayub

“Mbah, permisi ya!” Kata-kata ini atau yang semakna ini acap kali terdengar ketika seseorang menginjakkan kakinya di wilayah yang kelihatannya jarang dikunjungi oleh makhluk yang bernama manusia. Atau sebagai kata-kata yang sering dilontarkan ketika melewati sebuah jalan tertentu yang diyakini seandainya mereka yang lewat tidak mengucapkannya maka sangat dikhawatirkan malapetaka akan menimpanya.

Ritual penyembelihan ayam hitam juga kerap dilakukan dalam rangka menolak bala. Tempat yang sering terjadi musibah di situ mesti dicucuri darah ayam hitam ini. Tentu saja dengan keyakinan dan harapan angka kecelakaan bisa hilang atau diminimalisir. Begitu juga upacara-upacara yang mempersembahkan sesajen-sesajen lengkap dengan kepala kerbaunya kepada para “penguasa” alam ini. Mulai dari “penguasa” hutan, gunung, laut, kampung, dusun, kota, hingga kepada “penguasa” jalan. Jimat-jimat, rajah-rajah dan berbagai macam bentuk simbol keberuntungan juga banyak menghiasai rumah, toko, pabrik, kantor, tubuh, dan lain sebagainya, seraya berharap keberuntungan selalu mendampingi usaha mereka.

Tak bisa diingkari lagi bahwa fenomena ini memang terjadi di tengah-tengah kita. Bahkan dengan jumlah yang tidak sedikit. Seseorang yang paling berpendidikan sekalipun kadang tak luput dari hal-hal yang demikian. Mereka yang terdidik untuk berpikir secara rasional ternyata kerasionalan itu hilang begitu saja ketika berhadapan dengan hal yang demikian. Kenapa ini bisa terjadi?

Ini terjadi karena adanya ketergantungan dan keterkaitan hati terhadap hal-hal yang diyakini tersebut. Ketika seseorang permisi -untuk melalui suatu jalan atau mendatangi suatu tempat asing- kepada yang dianggap berkuasa di tempat itu maka sesungguhnya itu terjadi karena adanya ketergantungan dan keterkaitan hati orang tersebut dengan sesuatu tadi. Dengan adanya ketergantungan dan keterkaitan hati ini dia berkeyakinan bahwa sesuatu itu akan melindungi dia. Dia sandarkan nasibnya kepada sesuatu tersebut. Inilah yang terjadi. Lalu bagaimana Islam menghukumi terhadap hal-hal yang demikian?

Islam mengajarkan agar seseorang hanya menggantungkan dan mengaitkan hatinya kepada ALLAH semata. ALLAH-lah yang telah menciptakannya. ALLAH jua yang mengarunainya rezeki. ALLAH yang mengatur alam ini. ALLAH yang menguasai jagat raya ini. ALLAH yang berkuasa atas segala sesuatu. ALLAH yang melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya. ALLAH Dzat yang Maha Mendengar. ALLAH Dzat yang Maha Melihat. ALLAH Dzat yang Maha Mengetahui. ALLAH yang mengabulkan permintaan dan permohonan hamba-Nya. ALLAH yang memberi manfa’at dan madhorot. ALLAH dengan segala kesempurnaan dzat dan sifat-sifat-Nya. Sungguh amat pantas dan memang sudah semestinyalah bagi seseorang untuk menggantungkan dan mengaitkan hatinya hanya kepada ALLAH semata, Dzat yang Maha Sempurna.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ

Barang siapa yang bergantung kepada sesuatu maka dia serahkan kepadanya (HR. Tirmidzi dihasankan oleh Asy Syaikh Al Albany rahimahullah)

Yaitu barang siapa yang bergantung kepada sesuatu dan menjadikannya sebagai tujuan, sehingga dia menggantungkan harapan kepadanya dan menjadikannya sebagai penghilang rasa takutnya, maka dia akan menyerahkan dirinya kepada sesuatu tersebut dan akan bersandar kepadanya. Begitu pula, apabila seseorang hanya bergantung kepada ALLAH, maka dia akan menjadikan ALLAH sebagai tujuannya, dia gantungkan harapannya kepada-Nya, dan ALLAH-lah yang menghilangkan rasa takut yang ada pada dirinya. Dia serahkan dan sandarkan dirinya, hanya kepada ALLAH Ta’ala.

Sebaliknya, apabila dia bergantung kepada sesuatu selain ALLAH, maka dia akan berserah diri dan menyandarkan dirinya kepada sesuatu tersebut. Dan ini adalah salah satu bentuk kesyirikan. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ عَلَّقَ تَمِيمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ

Barang siapa yang menggantungkan jimat maka dia telah berbuat syirik” (HR. Imam Ahmad)

Seseorang yang menggantungkan jimat dalam rangka mengangkat malapetaka atau melindungi diri dari musibah berarti dia telah menggantungkan hatinya kepada jimat tersebut. Berarti pula dia telah menyandarkan dirinya dan hatinya kepada jimat tersebut. Dia berkeyakinan bahwa jimat itu bisa melindungi dia dari mara bahaya. Padahal tidak ada yang bisa melindungi dia dari mara bahaya kecuali اللّهُ Ta’ala. Karena itu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menghukumi bahwa orang yang demikian telah berbuat syirik. Kenapa? Karena hatinya sudah bergantung dan bersandar kepada selain ALLAH, dan ini sangat bahaya.

Bahaya? Ya, karena syirik adalah dosa besar yang tidak terampuni. Selain itu, orang yang menyandarkan hatinya tidak kepada ALLAH, maka hatinya akan menjadi lemah. Coba orang yang seperti ini dijauhkan dari jimatnya. Atau larang dia untuk mengucapkan kata “permisi” kepada “penunggu” kawasan. Atau cegah dia dari penyembelihan ayam hitam. Atau larang dia untuk mempersembahkan sesajen. Apa yang akan terjadi? Hatinya akan gelisah, resah, takut bahwa mara bahaya akan menimpanya. Khawatir keberuntungan tidak akan menyapanya. Cemas, harapannya tidak bisa terwujud. Apakah hati yang seperti ini bisa dikatakan sebagai hati yang kuat? Atau sebagai hati yang sehat? Bahkan sebaliknya, yang seperti ini adalah hati yang lemah dan sakit.

Hati yang sehat dan kuat adalah hati yang bertawakal hanya kepada ALLAH.

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

(Artinya: “Barang siapa yang bertawakkal hanya kepada ALLAH, maka ALLAH cukup baginya” )

(Ath Tholaq: 3)

Hati yang sehat dan kuat adalah hati yang bersandar hanya kepada ALLAH.

حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ

(Artinya:”Cukup bagi kami Allah dan sebaik-baik tempat penyerahan diri“) (Ali Imran:173)

Hati yang sehat dan kuat adalah hati yang meminta pertolongan hanya kepada ALLAH.

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

(Artinya: “Hanya kepada Engkaulah kami beribadah dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan” ) (Al Fatihah: 5)

Hati yang sehat dan kuat adalah hati yang berlindung hanya kepada ALLAH.

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ

(Artinya:“Katakanlah (-wahai Muhammad-): “Aku berlindung kepada Rabbnya Manusia”)
(An-Naas: 1)

Hati yang sehat dan kuat adalah hati yang takut hanya kepada ALLAH.

فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

(Artinya: “Maka janganlah kalian takut kepada mereka dan takutlah hanya kepada-Ku, jika kalian orang-orang yang beriman.“) (Ali Imran:175)

Hati yang sehat dan kuat adalah hati yang bergantung hanya kepada ALLAH saja.

Ketahuilah, ketergantungan hati kepada selain Allah

Ta’ala ada beberapa macam:

1. Ketergantungan hati yang menyebabkan sirnanya nilai tauhid secara keseluruhan, yaitu dia bergantung kepada sesuatu yang sebenarnya tidak mempunyai pengaruh sama sekali, dan bersandar kepadanya, yang menyebabkan dia berpaling dari ALLAH Ta’ala. Seperti; ketergantungan para penyembah kuburan terhadap para penghuninya -untuk melepaskannya dari musibah-musibah yang menimpanya-. Oleh karena itu, jika mereka menemui mara bahaya yang dahsyat, mereka akan mengatakan, “Wahai fulan, selamatkanlah kami!” Yang demikian ini -tidak diragukan lagi adalah kesyirikan yang besar, yang mengeluarkan seseorang dari Islam.

2. Ketergantungan hati yang melenyapkan kesempurnaan tauhid. Yaitu, ketika seseorang bersandar kepada sebab-sebab yang dibolehkan oleh syari’at ini, akan tetapi dia lalai terhadap yang menciptakan sebab-sebab tersebut, yaitu ALLAH ‘Azza wa Jalla, dan dia tidak memalingkan hatinya kepada-Nya. Dan ini adalah salah satu bentuk kesyirikan. Tetapi tidak dikatakan syirik besar, karena sebab-sebab ini memang telah ALLAH jadikan sebagai sebab.

3. Dia bergantung dengan sebab semata-semata hanya karena itu sebagai sebab saja. Sementara penyandaran asalnya masih hanya kepada ALLAH Ta’ala. Maka dia berkeyakinan bahwa sebab ini adalah dari ALLAH Ta’ala, dan bahwasanya ALLAH -kalau Dia menghendaki akan menghilangkan pengaruhnya atau membiarkannya-. Dan dia berkeyakinan, bahwasanya sebab tersebut tidak akan memiliki pengaruh kecuali dengan kehendak ALLAH Ta’ala. Yang demikian itu
tidaklah mengurangi sama sekali kesempurnaan tauhidnya.

Lihatlah akhir dari keadaan seseorang yang menggantungkan hatinya kepada selain ALLAH. Akhir yang menakutkan dan mengerikan. Akhir yang penuh dengan risiko dan mara bahaya. Siapakah kiranya -orang berakal- yang menginginkan hatinya menjadi lemah. Siapa juga yang sudi hatinya menjadi sakit. Bahkan akhirnya terjatuh ke dalam jurang kesyirikan yang sangat berbahaya.

Jika seseorang terjatuh ke dalamnya, hanya dengan rahmat ALLAH serta taufiq-Nya sajalah dia biasa bangkit dan selamat dari jurang tersebut. Tanpa itu, mustahil seseorang akan selamat.

Sudah saatnya bagi kita untuk bercermin, kemudian berkata;

Kepada siapa selama ini hati ini aku gantungkan? Kepada siapa selama ini hati ini aku sandarkan? Kepada siapa selama ini jiwa ini aku serahkan? Kepada-Mu kah ya ALLAH, atau kepada jimat-jimat yang tergantung indah? Atau kepada para “penguasa” alam tersebut yang katanya bisa melindungi? Atau kepada secuil pekerjaan yang menjanjikan? Atau kepada mereka yang katanya akan menjamin kebahagiaan hidupku? Atau, kepada siapakah?

Ya ALLAH, jadikanlah kami orang-orang yang hanya bertawakal kepada-Mu.

Ya ALLAH, jadikanlah kami orang-orang yang selalu bersandar kepada-Mu.

Ya ALLAH, jadikanlah kami orang-orang yang berserah diri kepada-Mu.

Ya ALLAH, jadikanlah kami orang-orang yang menggantungkan hatinya hanya kepada-Mu.

Buletin Jum’at Risalah Tauhid -Depok- edisi 83

Sumber:
http://www.mimbarislami.or.id/?module=artikel&action=detail&arid=118

Bangga Menjadi Muslim


Tak bisa dipungkiri, banyak dari kita sekarang yang kurang percaya diri dengan identitas keislamannya. Mulai dari tren berpakaian hingga ke pola pikir. Kita merasa lebih nyaman kemana-mana mengenakan kaos dan celana jeans. Sebaliknya, kita merasa minder, merasa salah kostum bila mengenakan baju koko atau jilbab. Kita lebih suka mengambil inspirasi dari Chicken Soup daripada membaca kisah para sahabat. Merasa lebih “cerdas dan intelek” dengan menonton Oprah Show daripada datang ke pengajian. Kita merasa takjub ketika tahu Mark Zuckerberg ternyata membuat Facebook di usia 19 tahun, tapi kita merasa biasa saja mengetahui Ali bin Abi Thalib z mulai memperjuangkan Islam dengan ujung pedangnya ketika berusia 8 tahun. Kita bahkan terbiasa memulai hari kita dengan membaca koran, bukan dengan membaca Al-Qur’an.

Bahkan, ada segelintir dari kita yang justru merasa lebih nyaman bergaul dengan temannya yang bukan muslim dibanding dengan saudaranya sesama muslim, dengan alasan bahwa temannya itu lebih toleran. Hohoho… maksud “toleran” di sini, bahwa temannya yang bukan muslim tersebut akan cuek saja, apakah kita shalat atau tidak. Segelintir itu jugalah yang merasa risih dengan teman muslimnya yang “tidak toleran”, karena teman muslimnya tersebut sering menasehatinya untuk menjauhi pacaran.

Lambat laun, hati kita cenderung lebih menyukai mereka yang bukan muslim tersebut. Hal-hal inilah yang akan melemahkan hati, sehingga tiap akhir tahun, dengan mudahnya kita mengirim SMS “‘Met Natal & Tahun Baru”. Tidakkah kita merasa bahwa dengan SMS ini, sama saja menyatakan keridhaan kita atas agama mereka? Apa kita mau menyatakan bahwa agama mereka benar?

Saudaraku…………….

Tahukah engkau bahwa kaum musliminlah yang dulu menguasai peradaban dari eropa hingga asia selatan

Kaum musliminlah yang menjadi mercusuar ilmu pengetahuan, dan menjadi rujukan dunia, disaat manusia mencampakkan ilmu pengetahuan

Kaum musliminlah yang pertama kali memuliakan wanita, ketika manusia menganggapnya sebagai makhluk rendahan

Namun, dengan berbagai prestasi kaum muslimin tersebut, mengapa justru kita sekarang terpuruk?

Kenapa kita sekarang malah minder dalam ber-islam?

Ada berbagai macam alasan mengapa kita banyak yang tidak percaya diri dengan identitas keislamannya. Namun semuanya bermuara pada satu sebab. Yaitu kurangnya ilmu agama kita. Minimnya ilmu agama membuat kita tidak yakin akan kebaikan dari agama kita. Sehingga, segala aturan dalam syariat itu dianggap sebagai kekangan, hal yang membuat dada kita terasa sesak. Harus make jilbab lah! Pacaran nggak boleh lah! Harus shalat di masjid lah! Padahal syariat yang agung ini, mengatur hal-hal tersebut demi kebaikan kita sebagai manusia.

Media juga memiliki andil besar dalam membentuk pola pikir kita. Hegemoni barat dalam media sudah melewati pintu-pintu rumah kita setiap hari melalui televisi. Acara fiksi, gaya hidup, musik hingga talkshow, semua sebagian besar dari barat. Melalui televisi lah pola pikir kita dibius: barat adalah sumber kemajuan, apa-apa yang datang dari barat adalah kebenaran.

Di tengah serbuan produk kebudayaan barat tersebut, kita harus bisa memilih, mau sepenuhnya mengekor buta (taqlid) terhadap kebudayaan barat, atau tetap berpegang teguh pada kesempurnaan ajaran Islam dengan memilah apa-apa yang datang dari mereka.

“Dan kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebaikan dan keburukan” [Q.S. Al-Balad:10]

Namun, bukan berarti kita menolak secara mutlak apa-apa yang datang dari mereka. Yang dilarang untuk diikuti, adalah apa-apa yang merupakan kekhasan mereka, baik itu penampilan, perayaan maupun pola pikir mereka. Dalam hal-hal yang sifatnya sarana duniawi (teknologi), kita boleh mengambil dari mereka.

Dari berbagai alasan di atas, maka :

  1. Mulailah belajar agama secara serius. Ilmu agama tidak hanya yang kita dapatkan melalui 2 jam pelajaran agama dalam seminggu di kelas, ataupun hanya melalui khutbah Jumat di masjid. Mulailah ikut pengajian-pengajian. Pilihlah pengajian yang materinya mengajarkan tauhid terlebih dahulu. Karena tauhid-lah yang merupakan inti agama kita. Dengan tauhid yang benar, maka kita bisa memilah mana yang baik dan mana yang buruk. Dengan tauhid yang benar, maka kita belajar mengikhlaskan apa-apa yang kita lakukan, sehingga selalu dinilai ibadah disisi Allah k.
  2. Memilih pergaulan yang baik. Teman yang baik akan mendorong kita untuk melakukan hal yang baik. Dia juga akan mengingatkan kita ketika kita berbuat salah.
  3. Memilah media. Apa yang kita lihat dan dengar akan mempengaruhi pola pikir kita. Jauhilah menonton cerita fiksi dan membaca komik. Banyak-banyaklah membaca kisah-kisah keteladanan orang-orang shalih. Ambillah pelajaran dari cara hidup mereka yang bersahaja. Lalu, berhati-hatilah juga terhadap acara-acara diskusi/talkshow yang ada di televisi. Karena kebanyakan acara diskusi tersebut tidak berlandaskan pada nilai-nilai Islam, sehingga hasil dari acara diskusi seringkali bertentangan dengan agama kita. Acara seperti ini walau tidak terkesan mendikte, tapi menyusupi pola pikir kita secara halus dengan metode dialog, diskusi, obrolan, dan semacamnya.

Saudaraku……

Marilah kita mulai memulai hidup yang lebih baik. Memilih hidup dengan cara Islam, hidup dengan apa-apa yang diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Bukankah kita sekarang sudah cukup dewasa? Sudah bisa mengambil keputusan? Ingatlah bahwa masa muda adalah suatu titik penentuan yang akan menentukan masa depan kita. Tiap orang memiliki pertimbangan. Tiap pilihan memiliki konsekuensi. Namun, orang berakal pasti akan menentukan pilihan hidupnya dengan pilihan yang merupakan wujud syukur atas nikmat terbesar yang didapatkannya, yaitu nikmat hidayah Islam.

“Sungguh, kami telah menunjukkan kepadanya jalan yang lurus; ada yang bersyukur, ada pula yang kufur” [Q.S. Al-Insan:3]. Wallahu alam bish showwab.

http://tashfiyah.net/?p=616

Ketika Harry Potter "Menyihir" Aqidah Umat (Lagi)

Harry Potter kembali lagi! Bagian pertama dari seri terakhir film siswa sekolah sihir Hogwarts ini kini kembali menyihir penduduk bumi, tidak terkecuali kaum muslimin. Kita saksikan sendiri mereka berduyun-duyun mengantri di bioskop-bioskop, mendownload atau menikmati DVD bajakannya di rumah. Tapi di balik ini semua, tahukah Anda kalau sihir adalah kekafiran yang besar, yang bisa mengeluarkan seseorang dari Islam?

Para ulama memasukkan sihir sebagai salah satu pembatal keislaman terbesar. Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan dalam kitab beliau Nawaqidul Islam,

"(Pembatal Keislaman) yang ketujuh: Sihir, termasuk sharf dan 'athaf.[1] Dalilnya adalah firman Alla ta'ala,



Keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: "Sesungguhnya Kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir". (Al Baqarah: 102)."

Asy Syaikh Shalih Al Fauzan berkata,

"Perbuatan sihir ini adalah kufur, dalilnya firman Allah ta'ala,

وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ

“Akan tetapi syaithan-syaithan itulah yang kafir, mereka mengajarkan sihir kepada manusia.” (Al Baqarah: 102)


Mempelajari sihir dan mengajarkannya adalah kufur kepada Allah dan termasuk jenis kemurtadan, maka tukang sihir adalah murtad. Jika dia seorang mu'min kemudian berbuat sihir sungguh dia telah murtad dari agama Islam dan dihukum bunuh (oleh pemerintah muslim –pent) tanpa dimintai taubat terlebih dahulu menurut sebagian ulama. Hal ini karena walaupun zhahirnya dia telah bertaubat, namun dia tetap menipu manusia. Ilmu sihirnya akan tetap muncul dari hatinya walaupun dia telah bertaubat.

Dalilnya firman Allah ta'ala,




Keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: "Sesungguhnya Kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir". (Al Baqarah: 102) [2]


Al Lajnah Ad Daimah, sebuah komite tetap pengkaji fatwa dan ilmu keislaman di Kerajaan Saudi Arabia mengatakan,

"Dan pendapat yang shahih bahwa penyihir dibunuh sebagai hukuman hadd karena kemurtadannya. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad rahimahullah. Penyihir dihukum bunuh karena kekafiran dan sihir yang ada padanya secara mutlak.


وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ

"Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir). mereka mengajarkan sihir kepada manusia. (Al Baqarah: 102)

Ayat ini menunjukkan kafirnya pelaku sihir secara mutlak." [3]


Setelah jelas bagi kita kafirnya perbuatan sihir, lalu ada yang menyanggah, "Kita sekarang tahu kalau sihir itu kekafiran, tapi bukankah kita cukup dewasa untuk tahu bahwa ini semua hanya fantasi, imajinasi JK Rowling yang kemudian dituangkan menjadi film? Atraksi sihirnya pun hanya trik-trik yang dilahirkan oleh special effect, bukan karena mantera-mantera sihir si Harry? Sudahlah, jangan terlalu ekstrim… Anggap saja ini sebagai hiburan…"

Maka kita jawab, itu semua tidak menafikan bahaya menonton film ini. Perlu Anda ketahui bahwa iblis tidaklah menggoda anak Adam dengan langsung menarik mereka kepada kekafiran, tapi sedikit demi sedikit Anda akan dijerat, ditarik ke dalam perbuatan dosa, sampai pada akhirnya tanpa Anda sadari Anda terjatuh dalam kesyirikan.

Ketika Anda menonton film ini dan terhibur dengannya, bukankah itu menandakan kalau Anda sudah ridha dengan sihir, merasa terhibur dengan sihir yang sudah kita jelaskan di atas bahwasanya dia termasuk kekufuran? Ketahuilah wahai saudaraku, ridha dengan kekafiran adalah bentuk kekafiran juga.

Al Imam Al Qurthubi berkata di dalam tafsir beliau terhadap firman Allah ta'ala,


وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ

"Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), Maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. karena Sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka." (An Nisa: 140)

Ayat ini menunjukkan wajibnya menjauhi pelaku maksiat apabila dia menampakkan kemungkaran secara zhahir karena barangsiapa yang tidak menjauhi mereka maka sungguh dia telah ridha dengan perbuatannya. Keridhaan terhadap kekufuran adalah kekufuran juga. Allah berfirman,


إِنَّكُمْ إِذاً مِثْلُهُمْ

"Sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka." (An Nisa: 140)


Ridha kepada maksiat adalah kemaksiatan pula. Oleh karena itu pelaku dan orang yang ridha dihukumi dengan hukuman pelaku maksiat sampai mereka seluruhnya binasa. " [4]

Demikian pula Asy Syaikh Abdul Aziz Ar Rajihi berkata,

"Sihir adalah kesyirikan. Barangsiapa yang melakukan sihir dengan mempelajarinya, mengajarkannya, memperbuatnya atau ridha dengannya maka dia kafir. Karena ridha dengan kekafiran adalah kekafiran pula. Barangsiapa yang ridha dengan kesyirikan, dia pun musyrik."[5]

Kalau sudah jelas begini, bukankah lebih baik kita berhati-hati dan menjaga aqidah kita? Kita memohon kepada Allah agar menghindarkan diri kita dari perkara-perkara yang merusak aqidah kita dan agar Allah meneguhkan hati kita di atas agama ini.


CATATAN KAKI:

[1] Sharf adalah sihir yang membuat seseorang menjauh dari pasangannya. Setelah tersihir dia seolah-seolah melihat pasangannya dalam bentuk yang jelek sehingga dia menjauhi pasangannya. Adapun 'athaf sebaliknya. Sihir ini membuat orang jatuh hati kepada orang lain, kalau di negeri kita sering disebut guna-guna. (Lihat kitab Tabshiratul Anam bis Syarhi Nawaqidil Islam, Asy Syaikh Abdul Aziz Ar Rojihi, hal 43-44)

[2] Syarah Nawaqidil Islam, hal 28

[3] Fatawa Lajnah Daimah 1/369, no 4804, melalui perantaraan Al Qaulul Mufid karya Asy Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab Al Yamani, hal. 138.

[4] Tafsir Al Qurthubi 5/418, melalui perantaraan Masa'il 'ala Nawaqidul Islam, Abu Abdillah Nashir Al Adeni hal. 72.

[5] Tabshiratul Anam bis Syarhi Nawaqidil Islam (hal.32-33)

----------------------------

Wira Mandiri Bachrun

Darul Hadits, Syihir – Hadramaut

Sabtu, 4 Dzulhijjah 1431 H/ 20 November 2010

http://www.facebook.com/#!/note.php?note_id=460201401699&id=1165366997
وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلا تَكْفُرْ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلا تَكْفُرْ