MEMAHAMI MAKNA BACAAN AL FATIHAH (BAG I)

Pada saat membaca AlFatihah inilah sebenarnya esensi dari dialog dengan Allah. Karena disebutkan dalam sebuah hadits Qudsi bahwa setiap ayat yang dibaca seseorang dari AlFatihah mendapat jawaban langsung dari Allah, sehingga terjadi dialog antara hamba dengan Allah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits qudsi tersebut :

قَسَمْتُ الصَّلاَةَ بَيْنِيْ وَبَيْنَ عَبْدِيْ نِصْفَيْنِ وَلِعَبْدِيْ مَا سَأَلَ فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ قَالَ اللهُ تَعَالَى حَمِدَنِي عَبْدِي وَإِذَا قَالَ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ قَالَ اللهُ تَعَالَى أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي وَإِذَا قَالَ مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ قَالَ مَجَّدَنِي عَبْدِي َوقَالَ مَرَّةً فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي فَإِذَا قَالَ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ قَالَ هذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ فَإِذَا قَالَ اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيِْم صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُْوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّيْنَ قَالَ هذا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ

“ Aku membagi AsSholaah (AlFatihah) antara Aku dengan hambaKu menjadi 2 bagian dan bagi hambaKu ia mendapatkan yang ia minta. Jika seorang hamba mengucap :

الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ Allah berfirman : ‘ HambaKu telah memujiKu’. Jika seorang hamba mengucapkan : الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ , Allah berfirman : ‘ HambaKu telah memujiKu. Jika hambaKu mengucapkan : مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ , Allah berfirman : ‘HambaKu telah mengagungkan Aku ’, dan kemudian Ia berkata selanjutnya : “HambaKu telah menyerahkan (urusannya) padaKu. Jika seorang hamba mengatakan : إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ , Allah menjawab : Ini adalah antara diriKu dan hambaKu, hambaKu akan mendapatkan yang ia minta. Jika seorang hamba mengatakan :

اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيِْم صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُْوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّيْنَ

Allah menjawab : Ini adalah untuk hambaKu, dan baginya apa yang ia minta (H.R Muslim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dalam Shohihnya, AtTirmidzi dalam Sunannya)

Allah menjawab ucapan seseorang dengan kalimat : “hambaKu telah memujiKu” pada saat diucapkan الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ dan الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ. Dua kalimat tersebut mengandung pujian bagi Allah, namun ada sedikit perbedaan. Pada kalimat yang pertama : الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ ( segala puji bagi Allah) pujian bagi Allah karena kebaikan perbuatan, sedangkan pada kalimat yang kedua : الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ (Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang) selain mengandung pujian karena kebaikan perbuatan juga karena kesempurnaan SifatNya 25

Para Ulama’ berbeda pendapat tentang apakah basmalah termasuk dalam surat Al Fatihah atau tidak. Hal yang menjadi kesepakatan adalah bahwa basmalah (bismillaahirrohmaanirohiim) merupakan bagian dari salah satu ayat surat AnNaml, yaitu ketika Nabi Sulaiman mengirim surat pada Ratu Balqis, di dalamnya terkandung basmalah. Hal ini terdapat dalam Surat AnNaml ayat 30 :

إِنَّهُ مِنْ سُلَيْمَانَ وَإِنَّهُ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Artinya : “ Dan sesungguhnya (surat itu) berasal dari Sulaiman dan sesungguhnya (terdapat tulisan) Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.

Sebagian Ulama’ menyatakan bahwa basmalah hanyalah merupakan bagian permulaan tiap surat sebagai pemisah antar surat, kecuali surat AtTaubah. Dalil yang menunjukkan bahwa ia merupakan pemisah antar surat adalah hadits :

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِي اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيِْه وَسَلَّمَ كَانَ لاَ يَعْرِفُ فَصْلَ السُّوْرَةِ حَتَّى يُنْزَلَ عَلَيْهِ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dari Ibnu Abbas – Radliyallaahu ‘anhuma – bahwasanya Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam sebelumnya tidak mengetahui pemisah antar surat (dalam AlQuran) sampai (Allah) turunkan atas beliau ‘bismillaahirrohmaanirrohiim’ (H.R Abu Dawud dalam Sunannya, dan Ibnu Katsir menyebutkan dalam tafsirnya bahwa sanad hadits ini shohih)

Hadits Qudsi tersebut di atas juga dijadikan dalil oleh para Ulama’ yang berpendapat bahwa bacaan basmalah (bismillaahirrohmaanirrohiim) bukanlah termasuk dari AlFatihah. Nampak dari hadits qudsi di atas bahwa permulaan bacaan tersebut (dialog antara pembaca AlFatihah dengan Allah) adalah: الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ, bukan dimulai dengan basmalah.

Namun, walaupun seandainya kita mengikuti pendapat ulama’ yang menyatakan bahwa basmalah bukan termasuk AlFatihah, dalam sholat sebelum membacanya tetap kita baca basmalah, karena Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam juga membaca basmalah dalam sholat. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Nu’aim al-Mujmiri ketika menerangkan sholat Abu Hurairah :

صَلَّيْتُ وَرَاءَ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَقَرَأَ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم ثُمَّ قَرَأَ بِأُمِّ اْلقُرْآنِ حَتَّى بَلَغَ وَلاَ الضَّالِّيْنَ فَقَالَ امِيْن وَقَالَ النَّاسُ امِيْن وَيَقُوْلُ كُلَّمَا سَجَدَ اللهُ أَكْبَر فَإِذَا قَامَ مِنَ اْلجُلُوْسِ قَالَ اللهُ أَكْبَر وَيَقُوْلُ إِذَا سَلَّمَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنِّي َلأَشْبَهَكُمْ صَلاَةً بِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Aku sholat di belakang Abu Hurairah – semoga Allah meridlainya- dia membaca bismillaahirrohmaanirrohiim kemudian membaca Ummul Qur’an (AlFatihah) sampai pada bacaan : وَلاَ الضَّالِّيْنَ , kemudian mengucapkan : Aamiin, orang-orang (makmum) juga mengucapkan : Aamiin, kemudian setiap akan sujud membaca : Allaahu akbar, ketika bangkit dari duduk membaca : Allaahu akbar, dan ketika selesai salam beliau berkata : “ Demi Dzat Yang jiwaku berada di TanganNya, sesungguhnya aku paling menyerupai sholatnya dengan Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam dibandingkan kalian “ (H.R AnNasaa’I dan Ibnu Khuzaimah)

Rincian Makna :

Ø بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

بِسْمِ اللهِ = Dengan Nama Allah

الرَّحْمنِ = Yang Maha Pengasih

الرَّحِيْمِ = Yang Maha Penyayang

Ø الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ

الْحَمْدُ = Segala pujian

ِللهِ = untuk Allah

رَبِّ =Tuhan (Pencipta, Penguasa, Pengatur)

اْلعَالَمِيْنَ = seluruh alam semesta

Segala pujian hanyalah milik Allah dan hanya pantas dikembalikan kepada Allah, Pemilik segala Sifat kesempurnaan. Allah terpuji pada seluruh Sifat dan seluruh perbuatanNya. IA dipuji dalam segenap keadaan. Sebagaimana Rasululullah senantiasa memuji Allah baik dalam keadaan gembira atau susah. Disebutkan dalam hadits :

عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ اْلمُؤْمِنِيْنَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَتَاهُ اْلأَمْرُ يَسُرُّهُ قَالَ اْلحَمْدُ ِللهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتِ وَإِذَا أَتَاهُ اْلأَمْرُ يَكْرَهُهُ قَالَ اْلحَمْدُ ِللهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ

“ Dari ‘Aisyah Ummul Mu’minin – semoga Allah meridlai beliau – beliau berkata : Adalah Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam jika ditimpa keadaan yang menyenangkan, beliau berkata : اْلحَمْدُ ِللهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتِ (Segala puji bagi Allah yang dengan kenikmatan (dari)Nya kebaikan-kebaikan menjadi sempurna). Sedangkan jika beliau ditimpa sesuatu yang tidak disenanginya, beliau mengucapkan : اْلحَمْدُ ِللهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ (Segala puji bagi Allah dalam segenap keadaan)”(H.R Al-Hakim dalam Al-Mustadraknya dan Ibnu Majah dalam Sunannya).

Allah dipuji dalam seluruh tahapan kehidupan, baik di dunia maupun di akhirat. Sebagaimana dalam FirmanNya :

وَهُوَ اللهُ لاَ إِلهَ إِلاَّ هُوَ لَهُ اْلحَمْدُ فِي اْلأُوْلَى وَاْلآخِرَةِ وَلَهُ اْلحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ

Dan Dialah Allah Yang tidak ada sesembahan yang haq kecuali Dia, bagiNya pujian di dunia dan di akhirat, dan hanya milikNyalah keputusan hukum, dan kepadaNya kalian semua akan dikembalikan “(Q.S Al-Qoshos : 70)

Allah adalah : رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ , yaitu Pencipta, Penguasa, dan Pengatur bagi seluruh semesta alam, segala sesuatu yang ada di bumi dan di langit serta di antara keduanya, di masa dulu, saat ini, dan untuk keseluruhan waktu. Sebagaimana juga Allah berfirman dalam ayat yang lain ketika menceritakan percakapan antara Fir’aun dan Nabi Musa :

قَالَ فِرْعَوْنُ وَمَا رَبُّ اْلعَالَمِيْنَ . قَالَ رَبُّ السَّموَاتِ وَاْلأَرْضِ وَ مَا بَيْنَهُمَا إِنْ كُنْتُمْ مُوْقِنِيْنَ

“ Berkata Fir’aun : Apakah رَبُّ اْلعَالَمِيْنَ itu? (Musa) berkata : Tuhan seluruh langit-langit dan bumi dan yang ada di antara keduanya, jika kalian memang meyakininya “(Q.S Asy-Syu’araa : 23)

Ø الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Kata الرَّحْمنِ dan الرَّحِيْمِ dalam bahasa Indonesia sering diartikan : Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Terjemahan ini tidaklah salah, karena memang dalam bahasa Arab keduanya memiliki makna : ذُوالرَّحْمَة (Yang Memiliki Sifat ‘rahmat’). Sifat ‘rahmat’ tersebut bisa diartikan kasih sayang sehingga penggunaan ‘Maha Pengasih’ sinonim dengan ‘Maha Penyayang’. Namun, sebenarnya di dalam dua kata ini terkandung makna yang lebih khusus, mendalam, dan memiliki karakteristik masing-masing.

Dijelaskan oleh Syaikh Muhammad Ibn Sholih al-Utsaimin bahwa : الرَّحْمنِ artinya adalah ‘Yang Memiliki rahmat yang luas’, sedangkan الرَّحِيْمِ adalah ‘Yang Mampu menjadikan rahmat / kasih sayangNya sampai/ menjangkau hambaNya’. Sebagian ulama’ menyatakan bahwa : الرَّحْمنِ artinya Allah memiliki rahmat yang berlaku umum untuk seluruh makhluk tanpa terkecuali, sedangkan الرَّحِيْم artinya Allah memiliki rahmat yang diberikan khusus bagi orang yang beriman saja. Namun, pendapat ini terbantahkan dengan surat AlHajj ayat 65 :

إِنَّ اللهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْم

“Sesungguhnya Allah terhadap manusia adalah sangat pengasih lagi penyayang “(Q.S AlHajj : 65)

Dalam ayat ini Allah menyebutkan NamaNya dalam bentuk : رَحِيْم untuk menyebutkan kasih sayangNya pada seluruh manusia secara umum, bukan hanya orang yang beriman saja. Sehingga penafsiran yang lebih tepat untuk dua Nama Allah tersebut adalah seperti yang dijelaskan oleh Syaikh al-Utsaimin di atas.

Allah memiliki sifat rahmat yang luas, yang meliputi segala sesuatu sebagaimana dalam firmanNya :

وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ

“ Dan rahmatKu meliputi segala sesuatu” (Q.S Al-A’raaf : 156)

Allah Subhaanahu WaTa’ala adalah Yang Paling bersifat rahmat/ kasih sayang di antara segala sesuatu yang memiliki kasih sayang (rahmat). Jika seluruh kasih sayang makhluk dikumpulkan, sedikitpun tidak bisa mendekati besarnya kasih sayang (rahmat) Allah. Sebagaimana disebutkan dalam firmanNya :

فَاللهُ خَيْرٌ حَافِظًا وَّهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِيْنَ

“ Maka Allah adalah sebaik-baik penjaga dan Dia adalah Yang paling Penyayang di antara seluruh penyayang “ (Q.S Yusuf :64)

Kasih sayang Allah kepada hambaNya sangat besar dan melebihi kasih sayang seorang ibu kepada anak yang sangat dicintainya. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits Al-Bukhari-Muslim ketika datang salah seorang wanita sedang mencari-cari anaknya di hadapan Rasul dan para Sahabatnya, setelah terus berupaya mencari akhirnya ia berhasil menemukan anaknya. Didekapnya anak tersebut dengan begitu erat dan penuh kasih sayang seakan-akan tidak akan dilepaskannya lagi selama-lamanya. Ketika menyaksikan hal itu Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

أَتَرَوْنَ هذِهِ طَارِحَةٌ وَلَدَهَا فِي النَّارِ قُلْنَا لاَ وَهِي تَقْدِرُ عَلَى أَنْ لاََ تَطْرَحَهُ فَقَالَ َللهُ أَرْحَمُ بِعِبَادِهِ مِنْ هذِهِ بِوَلَدِهَا (رواه البخاري و مسلم )

“ Apakah kalian menyangka wanita itu (tega) melemparkan anaknya ke api ? Para Sahabat menjawab : Tidak akan, jika dia memiliki kemampuan untuk tidak melemparkannya. Rasul bersabda : “Sungguh-sungguh Allah jauh lebih sayang kepada hamba-hambaNya dibandingkan kasih sayang wanita itu kepada anaknya”(H.R Al-Bukhari-Muslim)

Dengan kasih sayangNya pula Allah mengampuni orang-orang berdosa yang mohon ampunanNya dengan sebenar-benarnya taubat. Sebagaimana disebutkan dalam ayatNya :

كَتَبَ رَبُّكُمْ عَلَى نَفْسِهِ الرَّحْمَةَ أَنَّهُ مَنْ عَمِلَ مِنْكُمْ سُوْءًا بِجَهَالَةٍ ثُمَّ تَابَ مِنْ بَعْدِهِ وَأَصْلَحَ فَأَنَّهُ غَفُوْرٌ رَّحِيم

“ Dialah Allah Yang Mewajibkan bagi DiriNya Sendiri untuk bersikap rahmat. Barangsiapa di antara kalian yang beramal keburukan dengan kejahilan kemudian bertaubat setelahnya dan berbuat baik, maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang “(Q.S Al-An’aam : 54)

AsySyaikh Muhammad Ibn Sholih al-Utsaimin menjelaskan makna ayat ini : “Tidaklah Allah menutup ayat dengan kalimat ini kecuali orang-orang yang bertaubat akan mendapatkan ampunan dan rahmat. Ini adalah termasuk rahmatNya yang Ia wajibkan untuk DiriNya sendiri. Padahal sebenarnya sudah merupakan keadilan kalau seseorang berdosa diadzab sesuai dengan dosanya, dan dibalas sesuai dengan perbuatan baiknya. (Misalkan), kalau seandainya seseorang melakukan perbuatan dosa selama 50 hari, kemudian bertaubat dan berbuat baik 50 hari, sudah termasuk adil kalau seandainya Allah mengadzabnya untuk yang 50 hari dan memberinya pahala untuk yang 50 hari. Tetapi Allah Azza Wa Jalla mewajibkan DiriNya sendiri untuk bersikap rahmat. (Maka dengan itu) seluruh dosa yang dilakukan selama 50 hari bisa dihilangkan hanya sesaat (dengan taubat). Kemudian Allah tambah :

فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ (الفرقان :70)

“ Maka mereka itu adalah orang-orang yang Allah ganti keburukan-keburukannya dengan kebaikan – kebaikan “(Q.S AlFurqon : 70)

Seluruh keburukan-keburukan sebelumnya menjadi kebaikan-kebaikan, karena setiap kebaikan tersebut adalah taubat dan setiap taubat akan mendapatkan pahala 27

Sungguh kita sangat mengharapkan rahmat Allah. Kita sangat butuh pada rahmatNya melampaui segala sesuatu. Kita tidak bisa mengandalkan amalan-amalan kita semata tanpa rahmat Allah untuk mencapai kenikmatan hakiki yang Allah sediakan bagi hamba-hambaNya yang beriman. Sebagaimana Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

فَإِنَّهُ لَنْ يُدْخِلَ اْلجَنَّةَ أَحَدًا عَمَلُهُ قَالُوا وَلاَ أَنْتَ يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ وَلاَ أَنَا إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللهُ مِنْْهُ بِرَحْمَةٍ وَاعْلَمُوْا أَنَّ أَحَبَّ اْلعَمَلِ إِلَى اللهِ أَدْوَمُهُ وَإِنْ قَلَّ

“ Sesungguhnya tidak ada amalan seseorangpun yang bisa memasukkan seseorang ke dalam surga. Para Sahabat bertanya : ‘Apakah termasuk anda juga wahai Rasulullah?’ Rasul menjawab: Tidak juga saya, kecuali Allah telah melimpahkan rahmatNya padaku. Ketahuilah bahwasanya amalan yang paling dicintai Allah adalah yang paling istiqomah walaupun sedikit “(H.R AlBukhari-Muslim, lafadz hadits Muslim)

Benar, kita tidak bisa mengandalkan amalan kita semata untuk masuk surga. Kita membutuhkan rahmat Allah.

Jika ada pertanyaan, bagaimana dengan ayat-ayat dalam AlQuran yang menjelaskan bahwa seorang masuk surga disebabkan oleh amalannya. Seperti dalam firman Allah :

وَتِلْكَ اْلجَنَّةُ الَّتِي أُوْرِثْتُمُوْهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ

“ Dan itu adalah surga yang diwariskan kepada kalian disebabkan apa yang kalian amalkan “(Q.S AzZukhruf : 72)

dan firman Allah :

سَلاَمٌ عَلَيْكُمُ ادْخُلُوا اْلجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ

“ Keselamatan atas kalian, masuklah ke dalam surga disebabkan apa – apa yang kalian amalkan “(AnNahl :32)

AlHafidz Ibnu Hajar menukil perkataan Ibnul Jauzi 28: “ ada 4 jawaban tentang masalah ini :

1. Taufiq (petunjuk) dari Allah supaya seseorang mengamalkan sesuatu adalah merupakan rahmat Allah. Kalau tidak karena rahmat Allah terdahulu, maka tidaklah akan tercapai iman dan ketaatan yang dengan itu bisa dicapai keselamatan.

2. Bahwasanya seorang hamba (budak) yang beramal untuk Tuannya adalah merupakan hak dari Tuannya. Kalau seandainya Tuan tersebut memberikan ganjaran/balasan, maka itu adalah fadhilah (kelebihan) yang diberikannya.

3. Terdapat dalam beberapa hadits bahwa masuknya seseorang ke dalam surga adalah karena rahmat Allah, sedangkan perbedaan-perbedaan derajat dalam surga dicapai sesuai kadar amalan.

4. Amalan-amalan ketaatan yang dilakukan seorang hamba terjadi pada masa yang singkat (di dunia) sedangkan balasan dengan surga,pen.) adalah kekal. Maka balasan yang kekal untuk sesuatu yang fana (tidak kekal) adalah merupakan suatu fadhilah (kelebihan) bukanlah suatu balasan yang sebanding.

Demikian besarnya rahmat Allah sehingga kita tidak boleh putus asa dari rahmatNya. Allah adalah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih kepada hambaNya. Namun, jangan sampai kemudian kita terjerumus kepada sikap yang lain ketika memahami hal ini. Jangan sampai kemudian kita menggampangkan untuk berbuat dosa dengan anggapan nanti kita bisa bertaubat dan diampuniNya. Sikap semacam adalah merasa aman dari Makar (adzab) Allah, dan termasuk dosa besar. Sebagaimana putus asa dari rahmat Allah adalah dosa besar, demikian pula merasa aman dari adzab Allah adalah juga dosa besar. Hal ini sesuai dengan hadits :

عَنِ بْنِ مَسْعُوْدٍ أَكْبَرُ اْلكَبَائِرِ اْلإِشْرَاكُ بِاللهِ وَاْلأَمْنُ مِنْ مَكْرِ اللهِ وَاْلقُنُوْطُ مِنْ رَحْمَةِ اللهِ وَاْليَأْسُ مِنْ رَوْحِ اللهِ (رواه الطبرني و عبد الرزاق )

“Dari Ibnu Mas’ud : (termasuk) dosa yang paling besar adalah Syirik (mensekutukan) Allah, merasa aman dari makar (adzab) Allah, dan putus asa dari rahmat Allah “(H.R AtThobrony dan Abdurrozzaq dan sanad hadits ini shohih sebagaimana dijelaskan oleh AlHaitsaimi dalam Majma’uz Zawaaid)

Betapa indahnya susunan kalimat-kalimat dalam AlQuran yang Allah susun supaya manusia tidak putus asa dari rahmat Allah sekaligus tidak merasa aman dari adzab Allah. Banyak susunan dalam AlQuran yang jika Allah menyebutkan bahwa Ia adalah Maha Pengampun lagi Maha Pengasih, selanjutnya Ia berikan ancaman bahwa adzabNya sangat pedih. Demikian pula sebaliknya. Sebagaimana disebutkan dalam AlQuran :

نَبِّئْ عِبَادِيْ أَنِّي أَنَا اْلغَفُوْرُ الرَّحِيْم ( 49) وَأَنَّ عَذَابِي هُوَ اْلعَذَابُ اْلأَلِيْم (50)

“ Khabarkan kepada hamba-hambaKu bahwa Aku adalah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan bahwasanya adzabKu sangat pedih “ (Q.S Al-Hijr)

إِنَّ رَبَّكَ سَرِيْعُ اْلعِقَابِ وَإِنَّهُ لَغَفُوْرٌ رَّحِيْم

“ Sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat adzabNya, dan sesungguhnya Ia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang “(Q.S AlAn’aam : 165)

Demikian pula Allah memuji orang-orang yang menyembah dengan memadukan perasaan takut dari adzabNya dan berharap mendapatkan rahmat, pahala, ampunanNya :

إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُوْنَ فِي اْلخَيْرَاتِ وَيَدْعُوْنَنَا رَغَبًا وَّرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِيْنَ

“Sesungguhnya mereka dulunya senantiasa bersegera dalam kebaikan dan menyembah Kami dengan perasaan berharap dan takut dan mereka merasa tunduk (takut) kepada Kami”(Q.S Al-Anbiyaa’:21)

Ø مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ

مَالِكِ = Yang Memiliki

يَوْمِ الدِّيْنِ = Hari Pembalasan

Dalam ayat ini ada dua bacaan yang diperbolehkan karena sama-sama berasal dari riwayat yang shohih, yaitu boleh dibaca : مَالِكِ , boleh juga dibaca : مَلِِك , sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Imam Ibnu Katsir dalam tafsir beliau. Jika dibaca : مَلِِك artinya adalah Yang Menguasai/ Merajai. Sedangkan kata : الدِّيْنِ artinya adalah ‘pembalasan’ atau ‘penghitungan/ hisab ’. Sebagaimana makna semacam ini terdapat dalam ayat yang lain :

يَوْمَئِذٍ يُّوَفِّيْهِمُ اللهُ دِيْنَهُمُ الْحَقَّ

Pada hari itu Allah sempurnakan perhitungan/pembalasan bagi mereka secara haq”(Q.S AnNuur : 25)

Sehingga arti dari ayat ini adalah : Allahlah Yang Memiliki dan Menguasai secara mutlak hari pembalasan (yaumul qiyaamah). Pada hari itu tidak ada lagi yang memiliki kekuasaan kecuali Allah. Sebagaimana dalam hadits disebutkan :

يَقْبِضُ اللهُ اْلأَرْضَ وَيَطْوِي السَّمَاءَ بِيَمِيْنِهِ ثُمَّ يَقُوْلُ أَنَا اْلمَلِك أَيْنَ مُلُوْكُ اْلأَرْضِ أَيْنَ اْلجَبَّارُوْنَ أَيْنَ اْلمُتَكَبِّرُوْنَ

“ (Pada hari kiamat) Allah menggenggam bumi dan melipat langit dengan Tangan KananNya, kemudian berseru : “Akulah Raja. Mana raja-raja di bumi? Mana orang-orang yang sombong? Mana orang-orang yang takabbur? “(H.R AlBukhari-Muslim)

Dalam ayat yang lain Allah berfirman :

اْلمُلْكُ يَوْمَئِذٍ اْلحَقُّ لِلرَّحْمنِ وَكَانَ يَوْمًا عَلَى اْلكَافِرِيْنَ عَسِيْرًا

“ Kekuasaan pada hari itu hanyalah milik ArRahmaan dan itu adalah hari dimana bagi orang-orang kafir terasa sulit”(Q.S AlFurqoon: 26)

Pada hari itu tidak ada yang berani berbicara kecuali yang diijinkan Allah, sebagaimana dalam FirmanNya :

يَوْمَ يَقُوْمُ الرُّوْحُ وَاْلمَلاَئِكَةُ صَفًّا لاَ يَتَكَلَّمُوْنَ إِلاَّ مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمنُ وَقَالَ صَوَابًا

“ Pada hari di mana berdiri manusia dan para Malaikat bershaf-shaf tidak ada yang berbicara kecuali yang diijinkan ArRahmaan, dan tidaklah berbicara kecuali ucapan yang benar” (Q.S AnNabaa’ : 38)

...وَخَشَعَتِ اْلأَصْوَاتُ لِلرَّحْمنِ فَلاَ تَسْمَعُ إِلاَّ هَمْسًا

“ Dan suara-suara (pada hari itu) tunduk (hening) di hadapan ArRahmaan, tidak ada yang terdengar kecuali suara kaki diletakkan “(Q.S Thoha :108)

CATATAN KAKI :

25. Lihat Syarhun Nawaawi ‘ala Shohih Muslim karya Imam AnNawaawi juz 4 hal 104 cetakan Daaru Ihyaa’it Turoots al-‘Aroby Beirut

26. Syarh al-Aqiidah al-Waasithiyyah karya Syaikh Muhammad Ibn Sholih al-Utsaimin juz 1 hal 38 cetakan Daaru Ibnil Jauzi

27. Ibid, juz 1 hal 252

28. Silakan disimak Fathul Baari karya Ibnu Hajar al-Asqolani juz 11 hal 297 cetakan Daarul Ma’rifah Beirut tahun 1379 H

(Abu Utsman Kharisman)

www.itishom.web.id